Archive for November, 2008

Juru Kunci BONUS TRACK
2008/11/08

«[SIDE B] Aku diseret ke bawah, menuruni tangga yang semakin gelap. Teman-teman Jaket Jingga sudah lebih dulu menghilang.

Setelah turun satu lantai, berarti di lantai dua, bagian Utara yang bersebelahan dengan kompartemen Perpustakaan Umum, aku disambut lorong gelap. Tidak ada lampu sama sekali. Hanya kurasakan permukaan tembok yang kasar dan dingin.

Setelah beberapa belas langkah, aku dipaksa berbelok. Tampak lampu redup di kejauhan. Semakin aku mendekat, semakin terang ruangan. Mendadak tampak hadangan, kotak logam seukuran mesin fotokopi.

“Naik!” bentak Jaket Jingga setelah aku hanya termangu. Aku menurut. Aku lompati kotak. Di atasnya terlihat cap IBM, hitam di atas cat putih. Di sebelahnya ada gulungan-gulungan seperti pita kaset tapi lebih besar.

Aku jejakkan kaki di sebuah ruangan sempit, disekat di tiga penjuru dengan rak-rak buku. Ada empat mainframe IBM, berjajar di satu penjuru. Di depanku ada tumpukan kursi-kursi lipat rusak. Di lantai terserak berlembar kertas yang terkumpul, menggunung-gunung.

Di rak-rak pembatas ruangan, buku-buku dijajarkan. Semuanya berwarna coklat, tidak ada yang paperback. Yang bisa kukenali dari tulang-belakangnya adalah Di Bawah Bendera Revolusi, lalu Das Kapital I, II, III dalam bahasa asli, ditata rapi di deret teratas rak yang kuhadap. Ada yang tersampir di deret itu, sepertinya mimeo. Di sampulnya tercetak besar-besar From Jail to Jail, ditimpa spidolan ‘dari penjara ke penjara rev mar 89’. Di deret bawahnya ada The Brothers Karamazov, Dead Souls, War and Peace, disusul judul-judul non-Inggris dan beberapa non-Latin. (lebih…)

Juru Kunci SIDE B
2008/11/08

«[SIDE A] Sebut aku kleptomania. Nyatanya, aku hanya pembosan. Kalian tuduh aku tukang pamer, menunjuk-nunjukkan curian ke orang yang tidak punya interest. Tidak. Buku biru itu bukan suvenir buatku. Lebih seperti ice-breaker, sebuah selingan di masa panjang yang sunyi. Selingan yang istimewa. Bahkan lebih. Saat itu, aku overwhelmed. Euforik. Katartik. Buku itu terlalu berharga untuk diperlakukan sebagai barang curian.

Sore aku embat. Malamnya, buku itu mulai kuperlakukan seperti jimat. Aku membukanya. Halaman demi halaman. Dan di setiap alinea yang terbaca, kembali terbayang betapa panjang dan menegangkannya cara untuk mendapatkannya: setiap langkah, setiap detik pengamatan, setiap tetes keringat. Sebuah komemorasi yang pelaaan; menjelang habis satu bab, aku seperti terjangkit semacam megalomania, bahwa hanya akulah yang bisa memperlakukannya sedemikian suci, sedemikian takzim, sedemikian berharga di tiap-tiap aksara. Aku berbeda dengan orang-orang yang masuk ke perpus untuk berteduh, tidur, membatiki meja dengan coret-coretan cauvinistik. Lain. Aku datang dengan sebab, rebel with a cause.

Tentu saja, garis formal studi membuatku tidak ada urusan untuk memahami alinea-alinea itu. Aku salah ambil. Buku biru tipis itu buku sejarah tua: The Structure of Scientific Revolution. Karena cara bacaku yang sedemikian lambat, aku sampai ingat seluk-beluknya. Bukannya hafal luar kepala, tapi aku sampai ingat kalimat ini pasti keluar di seksi itu, bab anu, dan kemungkinan halaman sekian sampai sekian. Sedangkan Alkitab saja tak pernah kuperlakukan demikian.

Tak seperti perkiraan, buku itu tidak begitu mengerikan. Memang, sih, hampir tidak ada rumus dan kalimatnya panjang-panjang—namanya juga buku sejarah, tapi tidak tampak usaha menguntai kata-kata indah, sedapat mungkin memberi informasi dan bukan interpretasi. Persuasinya seperlunya, ilustrasinya membuncah. Aku serasa dilempar ke jaman dulu: Copernicus meneruskan Aristarchus untuk mengakhiri geosentrisme Ptolemæus, Lavoisier menyudahi flogiston Priestley, ruang absolut Newton ditantang Leibniz sebelum benar-benar dikandaskan Einstein. Mereka jadi temanku, teman yang sebelumnya tak kutahu mungkin ada. Untuk ukuranku saat itu, Thomas Kuhn adalah penutur yang istimewa.

Namun justru karena itu. Justru ilustrasinya. Copernicus mengelus-ngeluh di De Revolutionibus, betapa tradisi yang dia warisi sedemikian jeleknya sampai mirip monster? Pauli sempat lebih dulu menista matriksnya Heisenberg sebelum berbalik arah, tertawa girang menyambut fisika kuantum lima bulan kemudian? Apa maunya orang-orang ini? Penyelidik—mutatis mutandis—perasaan yang main perasaan? Bagaimana bisa mataku melihat mataku?

Paradoks yang mengerikan. Joy of conquest yang semula menggebu telah digantikan rentetan pertanyaan tanpa kesudahan. Di dua seksi terakhir, Kuhn seakan sedang bersila di hadapanku. Anak ini harus menjelaskan sejelas-jelasnya, ‘Why? Why this way?’ Kenapa harus merembuk pergaulan Newton untuk menelaah pandangan naturalnya? Kenapa fakta—atau rumor, siapa yang tahu—khas koran gosip jadi relevan di belakang sebuah penemuan? Kenapa harus pakai teori konspirasi? Kenapa politik ikut bermain? Sudah benarkah langkahku?, mencoba menghindarinya dengan ‘kembali ke fenomena’?

Harusnya aku tidak menyepelekan peringatan Kuhn di awal-awal, bahwa The Structure berisi sosiologi atau psikologi sosial tentang ilmuwan, bukan epistemologi. Telanjur. Telanjur. Buku tipis kumal itu mengajarkan prasangka yang sebelumnya tak kutahu mungkin ada. Sedihnya, satu-satunya tempat yang menyediakan konfirmasi hanya satu. Perpus. Sisa waktuku dihambur-hamburkan di situ.

Dan semua tambah buruk saja. Aku makin susah ketawa. Semakin memburuk akibat cerita distopik Bradbury. Awalnya versi Truffaut. Tak lama kemudian, versi tertulisnya. Semakin kumengerti bahwa buku tak hanya mencandukan, tapi juga merusak tatanan. Efeknya tak-dapat-balik, dan oleh karenanya, berbahaya. Yang non-fiksi lebih berbahaya lagi karena di format standard, selalu tersedia poin-poin kros-referensi. Kalau seorang pengelana mengurutnya dari arah manapun, setelah berabad-abad dia mungkin hanya akan melihat judul yang sama diulang dengan organisasi atau disorganisasi yang sama. Seseorang bisa dengan gampang tersasar, tersedot pusaran, Babel Borges, kelayapan di rimba pengetahuan tak bertepian. Itu kenyataan. Apa pula untungnya kulebih-lebihkan¿

(lebih…)